2016-06-01


KARTU KUNING THAILAND
Oleh Abdul Halim
Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan);
Koordinator Regional SEAFish for Justice (South East Asia Fish for Justice Network)
Dialog tertutup Komisi Eropa dengan Pemerintah Thailand berlangsung di Bangkok pada tanggal 17-19 Mei 2016. Dialog ini merupakan tindak lanjut atas peringatan Uni Eropa atas ketidakcukupan kerangka kebijakan, minimnya pengawasan dan kontrol, serta sistem penelusuran produk di dalam industri perikanan Thailand tahun lalu. Thailand diembargo” oleh Uni Eropa bersama dengan Kiribati, Sierra Leone, dan Trinidad dan Tobago.
Upaya diplomatik ini diselenggarakan dalam rangka renegosiasi penganuliran peringatan resmi yang dialamatkan kepada Pemerintah Thailand atas permasalahan praktek pencurian ikan. Hal ini disampaikan oleh Deputi Perdana Menteri Prawit Wongsuwan setelah pelbagai upaya perbaikan dilakukan oleh Pemerintah Thailand selama lebih dari 6 bulan.
Di dalam Konsultasi Teknis Regional mengenai Hak-Hak Pekerja Perikanan di dalam Industri Perikanan di Asia Tenggara” yang diselenggarakan oleh ASEAN-SEAFDEC pada 25-27 Februari 2016, Pemerintah Thailand mengklaim telah melakukan upaya-upaya sistematis melalui program Good Labour Practices (GLP).
Konsultasi regional ini dilatarbelakangi oleh 5 alasan utama, yakni pertama, tingginya permintaan atas tenaga kerja di pelbagai sektor, termasuk industri penangkapan dan pengolahan ikan; kedua, besarnya jumlah pekerja, baik dari 10 negara anggota ASEAN maupun non-ASEAN yang mencari peluang-peluang pekerjaan di Asia Tenggara; ketiga, meningkatnya pemahaman mengenai pentingnya melihat permasalahan yang terkait isu ketenagakerjaan untuk memperbaiki kondisi-kondisi kerja di sektor perikanan; keempat, resolusi ASEAN-SEAFDEC mengenai perikanan berkelanjutan untuk ketahanan pangan ASEAN menuju tahun 2020; dan kelima, menyasar status pekerja migran sebagaimana tercantum di dalam Dokumen Sosial Budaya Masyarakat ASEAN.
Di dalam Konsultasi Regional ini, hadir delegasi-delegasi resmi negara anggota ASEAN dari Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Jepang, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Selain itu, turut dalam dialog ini lembaga multilateral, seperti ILO (Organisasi Perburuhan Internasional), UN-ACT (United Nations Action for Cooperation against Trafficking in Persons), dan FAO (Organisasi Pangan Dunia); organisasi masyarakat sipil, seperti SEAFish for Justice, Labour Rights Promotion Network, Plan International, Kesatuan Pelaut Indonesia, Kesatuan Pelaut Kamboja, dan Kesatuan Pelaut Myanmar, dan Sustainable Development Foundation; dan pelaku usaha, di antaranya Anova Seafood, Myanmar Fisheries Federation, Thai Frozen Foods Associations, Thai Overseas Fisheries Association, dan Thai Union Group Public Company Limited.
Praktek Ketenagakerjaan yang Baik (GLP) ini bertujuan untuk menghindarkan para pekerja di sektor perikanan dari pelbagai bentuk pemaksaan, diskriminasi, dan pekerja anak di bawah umur, mulai dari yang bekerja di tambak, pabrik pengolahan dan ekspor maupun di atas kapal-kapal penangkap ikan.
Pemerintah Thailand berharap bahwa Praktek Ketenagakerjaan yang Baik ini mampu dimaksimalkan sebagai sebuah forum di mana para pekerja dan pemberi kerja bisa berdialog mengupayakan perbaikan dan penyelesaian konflik terkait dengan pemenuhan hak-hak pekerja; tersedianya mekanisme di mana pembeli (buyers) terlibat di dalam upaya memperbaiki rantai nilai perdagangan ikan; dan meningkatkan tingkat kesadaran mengenai peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan dan implementasinya.
Ironisnya, Organisasi Perburuhan Internasional mendapati fakta bahwa 100% ABK di Asia Tenggara yang bekerja di atas kapal perikanan lintas batas negara ini tidak memiliki informasi yang memadai mengenai pekerjaannya, termasuk hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi, baik oleh ABK sebagai pekerja maupun perusahaan/pemberi kerja.
Apa yang terjadi di dalam PT. Charoen Phokpand Foods di Thailand dan PT. Pusaka Benjina Resources di Indonesia membelalakkan mata para penikmat makanan laut di seluruh dunia. Ternyata, di dalam rantai nilai produk perikanan terdapat praktek-praktek penindasan manusia atas manusia lainnya atau dalam bahasa beken belakangan ini disebut sebagai perbudakan.
ASEAN (Association of South East Asian Nations) merespons kasus perbudakan yang terjadi di kawasan berpenduduk lebih dari 600 juta orang ini. Seperti diketahui, ABK yang mengalami praktek perbudakan berasal dari Myanmar, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Thailand, Laos, dan Vietnam. Untuk itulah, ASEAN tengah membincangkannya dengan 10 negara anggotanya. Harapannya ada kesepakatan bersama untuk memerangi praktek haram ini.
Di Indonesia, setelah terungkapnya kasus perbudakan di PT Pusaka Benjina Resources di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, kini dinilai tersangkut kasus tunggakan pajak sejak 2013 sebesar Rp. 11 miliar. Perusahaan itu dinilai tidak mempunyai itikad baik untuk melunasi pajak. Fakta ini ditemukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sementara di Thailand, di banyak kesempatan publik, PT. Charoen Phokpand Foods mengklaim telah melakukan berbagai langkah maju untuk mengatasi praktek perbudakan di dalam perusahaan mereka. Pun demikian dengan Pemerintah Thailand. Mereka berjibaku menciptakan citra positif produk perikanan negeri 1.000 kuil ini setelah didera persoalan perbudakan.
Awak kapal perikanan
Di dalam Pasal 1 huruf (e) Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dijelaskan bahwa, awak kapal berarti setiap orang yang dipekerjakan atau bekerja dalam kapasitas apapun atau melaksanakan pekerjaan di kapal penangkap ikan, termasuk mereka yang bekerja di kapal dan dibayar berdasarkan pembagian hasil tangkapan tapi tidak termasuk mualim, personil laut, orang-orang lain dengan layanan tetap pemerintah, mereka yang berbasis di daratan yang melaksanakan tugas di kapal penangkap ikan dan pengamat awak kapal.
Meski sudah diatur di dalam Konvensi tersebut, nyatanya masih terjadi pelanggaran HAM terhadap awak kapal perikanan. Contohnya, salah seorang pekerja perikanan asal Indonesia yang diperdagangkan dan bekerja melalui rute yang amat panjang, mulai dari diterbangkan dari Jakarta (Indonesia) via Kuala Lumpur (Malaysia), Amsterdam (Belanda), dan Trinidad and Tobago. Dari negara terakhir, pekerja asal Indonesia ini bekerja di atas kapal penangkap ikan dan berlayar menuju Senegal, Pantai Gading, Uruguay, dan berakhir di Cape Town (Afrika Selatan).
Rute panjang yang mesti dilalui oleh pekerja asal Indonesia juga dialami oleh calon pekerja yang diperdagangkan. Umumnya, mereka berasal dari Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Kamboja, Vietnam, Singapura, dan Thailand. Hal ini menunjukkan tidak ada informasi yang memadai untuk calon awak kapal perikanan yang akan dipekerjakan.
Pusat Data dan Informasi SEAFish for Justice (Februari 2016) menemukan fakta bahwa praktek yang masih berlangsung di atas kapal-kapal penangkap ikan adalah: (1) tidak adanya informasi yang memadai mengenai pekerjaan yang ditawarkan; (2) tidak ada perjanjian kerja sama di laut; (3) tidak ada informasi yang jelas mengenai hak-hak pekerja, seperti gaji dan seterusnya; (4) jam kerja melebihi ketentuan perundang-undangan nasional dan internasional; dan (5) tidak ada jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan dan kesehatan. Padahal, fakta-fakta ini sudah diatur di dalam Konvensi ILO.
Saat ini, hanya 7 negara yang meratifikasi Konvensi No. 188 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, yakni Argentina, Bosnia Herzegovina, Kongo, Perancis, Maroko, Norwegia, dan Afrika Selatan.
Patut disayangkan, Pemerintah Republik Indonesia belum meratifikasi Konvensi No. 188 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, meskipun di tingkat nasional baru disahkan Peraturan Menteri No. 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan.
Kebijakan pemerintah yang mewajibkan perusahaan perikanan menerapkan perlindungan hak asasi manusia dinilai sebagai langkah positif untuk menciptakan iklim usaha perikanan yang kondusif. Meski demikian, kepatuhan perusahaan itu perlu diimbangi dengan insentif dari pemerintah. Tidak ada alasan bagi pelaku usaha untuk tidak memanusiakan hak-hak pekerja perikanan di dalam negeri (KOMPAS, 11 Desember 2015).
Permen ini antara lain mengatur sertifikasi HAM, meliputi penerapan standar minimum perlindungan HAM dalam perekrutan, perjanjian kerja, akomodasi dan konsumsi, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), jaminan sosial dan asuransi, pengupahan, hak istirahat, serta hak cuti dan repatriasi. Ketentuan itu berlaku untuk semua pengusaha kapal penangkapan ikan dan kapal pendukung operasi penangkapan ikan (lihat Tabel 1).
Pemberlakuan peraturan tersebut perlu diimbangi dengan insentif kepada pelaku usaha yang mematuhi ketentuan penerapan HAM sehingga terjadi imbal balik bagi pelaku usaha. Dicontohkan, insentif kemudahan perizinan dan pengurangan pungutan hasil perikanan yang dinilai sangat tinggi dan memberatkan.
Tabel 1. Aspek dan Jenis HAM Perikanan
No
Aspek HAM
Jenis HAM
Keterangan
1
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Hak untuk mendapatkan perlindungan atas K3
1.     Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
2.     Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
3.     Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
2
Sistem Perekrutan Awak Kapal Perikanan dan Pekerja
Hak atas pekerjaan yang layak dan adil (termasuk perjanjian kerja, pengupahan, pembatasan waktu kerja, istirahat, cuti dan libur)
3
Sistem Ketenagakerjaan
1.     Hak atas kebebasan berpendapat dan berserikat;
2.     Hak atas jaminan sosial;
3.     Hak atas pekerjaan yang layah dan adil (hak atas perjanjian kerja bersama yang mengatur pengupahan, pembatasan waktu kerja, istirahat, cuti, dan libur)
1.     Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
2.     Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3.     Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
4.     Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
5.     Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2015 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan
6.     Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pelayanan Publik di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan
7.     Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Kesyahbandaran di Pelabuhan Perikanan
4
Tanggung Jawab Pengembangan Masyarakat yang Berkelanjutan
1.     Hak mengembangkan diri; dan
2.     Hak atas kesejahteraan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5
Tenaga Keamanan
1.     Hak atas rasa aman;
2.     Hak atas kebebasan pribadi
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
6
Lingkungan
1.     Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat; dan
2.     Hak atas kesejahteraan
1.     Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
2.     Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
3.     Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
4.     Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
5.     Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
7
Pengambilalihan Lahan
1.     Hak untuk Hidup; dan
2.     Hak atas kesejahteraan
1.     Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2016), diolah dari Peraturan Menteri No. 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM Pada Usaha Perikanan
Permen No. 35 Tahun 2015 sekaligus menjadi momentum untuk membenahi sistem upah pekerja kapal perikanan dalam negeri. Di dalam UU Perikanan, sudah ada kewajiban pelaku usaha untuk melengkapi perjanjian kerja di laut sebagai syarat memperoleh izin penangkapan. Sayangnya, pelaksanaannya sangat lemah sehingga perlakuan pengusaha perikanan kepada pekerja semaunya. Di sinilah upaya memanusiakan awak kapal perikanan bisa dimulai.***
Artikel ini dipublikasikan oleh Majalah Samudra Edisi 158, Tahun XIV, Juni 2016, Halaman 22-23 dan dicopas dari Milis Lingkungan yang disampaikan oleh KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan)

About Me

Foto saya
Pekanbaru, Riau, Indonesia

Blogger Templates

Unordered List

Sample Text

Diberdayakan oleh Blogger.

Berlangganan via email

Masukkan Alamat Email Anda:

Didukung oleh FeedBurner

JSS

Curhat

Sponsor-ku

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget