Oleh Abdul Halim
Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan);
Koordinator Regional SEAFish for Justice (South East Asia Fish for Justice Network)
Dialog
tertutup Komisi Eropa dengan Pemerintah Thailand berlangsung di Bangkok
pada tanggal 17-19 Mei 2016. Dialog ini merupakan tindak lanjut atas
peringatan Uni Eropa atas ketidakcukupan kerangka kebijakan, minimnya
pengawasan dan kontrol, serta sistem penelusuran produk di dalam
industri perikanan Thailand tahun lalu. Thailand “diembargo” oleh Uni Eropa bersama dengan Kiribati, Sierra Leone, dan Trinidad dan Tobago.
Upaya
diplomatik ini diselenggarakan dalam rangka renegosiasi penganuliran
peringatan resmi yang dialamatkan kepada Pemerintah Thailand atas
permasalahan praktek pencurian ikan. Hal ini disampaikan oleh Deputi
Perdana Menteri Prawit Wongsuwan setelah pelbagai upaya perbaikan
dilakukan oleh Pemerintah Thailand selama lebih dari 6 bulan.
Di dalam Konsultasi Teknis Regional mengenai “Hak-Hak Pekerja Perikanan di dalam Industri Perikanan di Asia Tenggara” yang
diselenggarakan oleh ASEAN-SEAFDEC pada 25-27 Februari 2016, Pemerintah
Thailand mengklaim telah melakukan upaya-upaya sistematis melalui
program Good Labour Practices (GLP).
Konsultasi
regional ini dilatarbelakangi oleh 5 alasan utama, yakni pertama,
tingginya permintaan atas tenaga kerja di pelbagai sektor, termasuk
industri penangkapan dan pengolahan ikan; kedua, besarnya jumlah
pekerja, baik dari 10 negara anggota ASEAN maupun non-ASEAN yang mencari
peluang-peluang pekerjaan di Asia Tenggara; ketiga, meningkatnya
pemahaman mengenai pentingnya melihat permasalahan yang terkait isu
ketenagakerjaan untuk memperbaiki kondisi-kondisi kerja di sektor
perikanan; keempat, resolusi ASEAN-SEAFDEC mengenai perikanan
berkelanjutan untuk ketahanan pangan ASEAN menuju tahun 2020; dan
kelima, menyasar status pekerja migran sebagaimana tercantum di dalam Dokumen Sosial Budaya Masyarakat ASEAN.
Di
dalam Konsultasi Regional ini, hadir delegasi-delegasi resmi negara
anggota ASEAN dari Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Jepang, Laos,
Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Selain
itu, turut dalam dialog ini lembaga multilateral, seperti ILO
(Organisasi Perburuhan Internasional), UN-ACT (United Nations Action for Cooperation against Trafficking in Persons),
dan FAO (Organisasi Pangan Dunia); organisasi masyarakat sipil, seperti
SEAFish for Justice, Labour Rights Promotion Network, Plan
International, Kesatuan Pelaut Indonesia, Kesatuan Pelaut Kamboja, dan
Kesatuan Pelaut Myanmar, dan Sustainable Development Foundation; dan
pelaku usaha, di antaranya Anova Seafood, Myanmar Fisheries Federation,
Thai Frozen Foods Associations, Thai Overseas Fisheries Association, dan
Thai Union Group Public Company Limited.
Praktek
Ketenagakerjaan yang Baik (GLP) ini bertujuan untuk menghindarkan para
pekerja di sektor perikanan dari pelbagai bentuk pemaksaan,
diskriminasi, dan pekerja anak di bawah umur, mulai dari yang bekerja di
tambak, pabrik pengolahan dan ekspor maupun di atas kapal-kapal
penangkap ikan.
Pemerintah
Thailand berharap bahwa Praktek Ketenagakerjaan yang Baik ini mampu
dimaksimalkan sebagai sebuah forum di mana para pekerja dan pemberi
kerja bisa berdialog mengupayakan perbaikan dan penyelesaian konflik
terkait dengan pemenuhan hak-hak pekerja; tersedianya mekanisme di mana
pembeli (buyers) terlibat di dalam upaya memperbaiki rantai nilai
perdagangan ikan; dan meningkatkan tingkat kesadaran mengenai peraturan
perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan dan implementasinya.
Ironisnya,
Organisasi Perburuhan Internasional mendapati fakta bahwa 100% ABK di
Asia Tenggara yang bekerja di atas kapal perikanan lintas batas negara
ini tidak memiliki informasi yang memadai mengenai pekerjaannya,
termasuk hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi, baik oleh ABK sebagai
pekerja maupun perusahaan/pemberi kerja.
Apa
yang terjadi di dalam PT. Charoen Phokpand Foods di Thailand dan PT.
Pusaka Benjina Resources di Indonesia membelalakkan mata para penikmat
makanan laut di seluruh dunia. Ternyata, di dalam rantai nilai produk
perikanan terdapat praktek-praktek penindasan manusia atas manusia
lainnya atau dalam bahasa beken belakangan ini disebut sebagai
perbudakan.
ASEAN (Association of South East Asian Nations)
merespons kasus perbudakan yang terjadi di kawasan berpenduduk lebih
dari 600 juta orang ini. Seperti diketahui, ABK yang mengalami praktek
perbudakan berasal dari Myanmar, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Thailand,
Laos, dan Vietnam. Untuk itulah, ASEAN tengah membincangkannya dengan
10 negara anggotanya. Harapannya ada kesepakatan bersama untuk memerangi
praktek haram ini.
Di Indonesia, setelah terungkapnya kasus perbudakan di
PT Pusaka Benjina Resources di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, kini
dinilai tersangkut kasus tunggakan pajak sejak 2013 sebesar Rp. 11
miliar. Perusahaan itu dinilai tidak mempunyai itikad baik untuk
melunasi pajak. Fakta ini ditemukan oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
Sementara
di Thailand, di banyak kesempatan publik, PT. Charoen Phokpand Foods
mengklaim telah melakukan berbagai langkah maju untuk mengatasi praktek
perbudakan di dalam perusahaan mereka. Pun demikian dengan Pemerintah
Thailand. Mereka berjibaku menciptakan citra positif produk perikanan
negeri 1.000 kuil ini setelah didera persoalan perbudakan.
Awak kapal perikanan
Di dalam Pasal 1 huruf (e) Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dijelaskan bahwa, “awak
kapal berarti setiap orang yang dipekerjakan atau bekerja dalam
kapasitas apapun atau melaksanakan pekerjaan di kapal penangkap ikan,
termasuk mereka yang bekerja di kapal dan dibayar berdasarkan pembagian
hasil tangkapan tapi tidak termasuk mualim, personil laut, orang-orang
lain dengan layanan tetap pemerintah, mereka yang berbasis di daratan
yang melaksanakan tugas di kapal penangkap ikan dan pengamat awak kapal”.
Meski
sudah diatur di dalam Konvensi tersebut, nyatanya masih terjadi
pelanggaran HAM terhadap awak kapal perikanan. Contohnya, salah seorang
pekerja perikanan asal Indonesia yang diperdagangkan dan bekerja melalui
rute yang amat panjang, mulai dari diterbangkan dari Jakarta
(Indonesia) via Kuala Lumpur (Malaysia), Amsterdam (Belanda), dan
Trinidad and Tobago. Dari negara terakhir, pekerja asal Indonesia ini
bekerja di atas kapal penangkap ikan dan berlayar menuju Senegal, Pantai
Gading, Uruguay, dan berakhir di Cape Town (Afrika Selatan).
Rute
panjang yang mesti dilalui oleh pekerja asal Indonesia juga dialami
oleh calon pekerja yang diperdagangkan. Umumnya, mereka berasal dari
Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Kamboja, Vietnam, Singapura, dan
Thailand. Hal ini menunjukkan tidak ada informasi yang memadai untuk
calon awak kapal perikanan yang akan dipekerjakan.
Pusat
Data dan Informasi SEAFish for Justice (Februari 2016) menemukan fakta
bahwa praktek yang masih berlangsung di atas kapal-kapal penangkap ikan
adalah: (1) tidak adanya informasi yang memadai mengenai pekerjaan yang
ditawarkan; (2) tidak ada perjanjian kerja sama di laut; (3) tidak ada
informasi yang jelas mengenai hak-hak pekerja, seperti gaji dan
seterusnya; (4) jam kerja melebihi ketentuan perundang-undangan nasional
dan internasional; dan (5) tidak ada jaminan sosial di bidang
ketenagakerjaan dan kesehatan. Padahal, fakta-fakta ini sudah diatur di
dalam Konvensi ILO.
Saat ini, hanya
7 negara yang meratifikasi Konvensi No. 188 Tahun 2007 mengenai
Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, yakni Argentina, Bosnia Herzegovina,
Kongo, Perancis, Maroko, Norwegia, dan Afrika Selatan.
Patut
disayangkan, Pemerintah Republik Indonesia belum meratifikasi Konvensi
No. 188 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, meskipun
di tingkat nasional baru disahkan Peraturan Menteri No. 35 Tahun 2015
tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan.
Kebijakan
pemerintah yang mewajibkan perusahaan perikanan menerapkan perlindungan
hak asasi manusia dinilai sebagai langkah positif untuk menciptakan
iklim usaha perikanan yang kondusif. Meski demikian, kepatuhan
perusahaan itu perlu diimbangi dengan insentif dari pemerintah. Tidak
ada alasan bagi pelaku usaha untuk tidak memanusiakan hak-hak pekerja
perikanan di dalam negeri (KOMPAS, 11 Desember 2015).
Permen
ini antara lain mengatur sertifikasi HAM, meliputi penerapan standar
minimum perlindungan HAM dalam perekrutan, perjanjian kerja, akomodasi
dan konsumsi, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), jaminan sosial dan
asuransi, pengupahan, hak istirahat, serta hak cuti dan repatriasi.
Ketentuan itu berlaku untuk semua pengusaha kapal penangkapan ikan dan
kapal pendukung operasi penangkapan ikan (lihat Tabel 1).
Pemberlakuan
peraturan tersebut perlu diimbangi dengan insentif kepada pelaku usaha
yang mematuhi ketentuan penerapan HAM sehingga terjadi imbal balik bagi
pelaku usaha. Dicontohkan, insentif kemudahan perizinan dan pengurangan
pungutan hasil perikanan yang dinilai sangat tinggi dan memberatkan.
Tabel 1. Aspek dan Jenis HAM Perikanan
No
|
Aspek HAM
|
Jenis HAM
|
Keterangan
|
1
|
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
|
Hak untuk mendapatkan perlindungan atas K3
|
1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
|
2
|
Sistem Perekrutan Awak Kapal Perikanan dan Pekerja
|
Hak
atas pekerjaan yang layak dan adil (termasuk perjanjian kerja,
pengupahan, pembatasan waktu kerja, istirahat, cuti dan libur)
| |
3
|
Sistem Ketenagakerjaan
|
1. Hak atas kebebasan berpendapat dan berserikat;
2. Hak atas jaminan sosial;
3. Hak
atas pekerjaan yang layah dan adil (hak atas perjanjian kerja bersama
yang mengatur pengupahan, pembatasan waktu kerja, istirahat, cuti, dan
libur)
|
1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2015 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan
6. Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pelayanan
Publik di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan
7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 3 Tahun 2013 tentang Kesyahbandaran di Pelabuhan Perikanan
|
4
|
Tanggung Jawab Pengembangan Masyarakat yang Berkelanjutan
|
1. Hak mengembangkan diri; dan
2. Hak atas kesejahteraan
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
|
5
|
Tenaga Keamanan
|
1. Hak atas rasa aman;
2. Hak atas kebebasan pribadi
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
|
6
|
Lingkungan
|
1. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat; dan
2. Hak atas kesejahteraan
|
1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
4. Peraturan
Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
|
7
|
Pengambilalihan Lahan
|
1. Hak untuk Hidup; dan
2. Hak atas kesejahteraan
|
1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
|
Sumber:
Pusat Data dan Informasi KIARA (Februari 2016), diolah dari Peraturan
Menteri No. 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM Pada Usaha
Perikanan
Permen
No. 35 Tahun 2015 sekaligus menjadi momentum untuk membenahi sistem
upah pekerja kapal perikanan dalam negeri. Di dalam UU Perikanan, sudah
ada kewajiban pelaku usaha untuk melengkapi perjanjian kerja di laut
sebagai syarat memperoleh izin penangkapan. Sayangnya, pelaksanaannya
sangat lemah sehingga perlakuan pengusaha perikanan kepada pekerja
semaunya. Di sinilah upaya memanusiakan awak kapal perikanan bisa
dimulai.***
Artikel ini dipublikasikan oleh Majalah Samudra Edisi 158, Tahun XIV, Juni 2016, Halaman 22-23 dan dicopas dari Milis Lingkungan yang disampaikan oleh KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan)
KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
BalasHapusdan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor yang AKI
beri 4 angka [1696] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus .
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu KI. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka PASANG NOMOR
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA,,di no (((085-321-606-847)))
insya allah anda bisa seperti saya…menang NOMOR 750 JUTA , wassalam.